Rabu, 09 Juni 2010

PPh Pasal 26

PPh Pasal 25

PPh Pasal 24

PPh Pasal 23

PPh Pasal 22

2.5.1 Industri Rokok
  • Pemungut
  • Cara Penghitungan
  • Tarif, Pelunasan, Penyetoran dan Pelaporan
  • Pembukuan Pajak

    1.10.1 Syarat Pembukuan
    1.10.2 Norma Pengitungan Penghasilan Netto
  • Norma Penghitungan Penghasilan Netto
  • NPWP - PKP - Hak, Kewajiban dan Sanksi Perpajakan

    1.1.1 NPWP
  • Dasar Hukum NPWP
  • Kode Seri NPWP
  • Nomor Identitas Tunggal Wajib Pajak
  • Tata Cara Pendaftaran Dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak
  • Tata Cara Penghapusan NPWP
  • Tata Cara Pencarian Data WP Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Karyawan
  • Kewajiban Mencantumkan NPWP Dalam SPT Tahunan PPh WP Bagi Pemegang Saham dsb
  • Kewajiban Mendaftarkan Diri
  • Jangka Waktu Pendaftaran Atau Pelaporan Kegiatan Usaha
  • Tempat Pendaftaran
  • Tempat Pendaftaran Bagi Wajib Pajak Tertentu
  • Tempat Pendaftaran bagi Bendaharawan sbg WP
  • Tata Cara Perubahan Data WP
  • Wanita dan NPWP
  • Pemeriksaan dalam Penghapusan NPWP
  • Wajib Pajak Non Efektif
  • 1.1.2 Pengusaha Kena Pajak (PKP)
  • Definisi
  • Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
  • Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Secara Jabatan
  • Tempat Melaporkan Usaha
  • Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
  • Jangka Waktu Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
  • 1.1.3 Hak, Kewajiban dan Sanksi Perpajakan
  • Dasar Hukum
  • Hak Wajib Pajak
  • Kewajiban Wajib Pajak
  • Jenis Sanksi dan Besarnya
  • Sanksi Denda
  • Sanksi Pidana Penjara
  • Sanksi Pidana Kurungan
  • Sanksi Kenaikan
  • Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Adminitrasi
  • Sanksi Bagi Wajib Pajak Yang Tidak Memenuhi Kewajiban PPh Final
  • WP yang dikecualikan dari pengenaan Sanksi Administrasi
  • Contoh Penghitungan Sanksi
  • Permohonan-Permohonan Wajib Pajak
  • 1.1.4 Kelompok Lapangan Usaha (KLU)
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori A : Pertanian, Perburuan dan Kehutanan
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori B : Perikanan
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori C: Pertambangan dan Penggalian
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori D : Industri Pengolahan
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori E : Listrik, Gas dan Air
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori F : Konstruksi
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori G : Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil, Sepeda Motor, serta Barang-barang Keperluan Pribadi dan Rumah Tangga
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori I : Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori J : Perantara Keuangan
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori K : Real Estat, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori K : Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori M : Jasa Pendidikan
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori N : Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori O : Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Kegiatan Lainnya
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori P : Jasa Perorangan
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori Q : Badan Internasional dan Badan Ekstra Internasional Lainnya
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori X : Kegiatan Yang Belum Jelas Batasannya
  • Kelompok Lapangan Usaha Kategori H: Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum
  • PAJAK PENGHASILAN PASAL 21



    1. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 :


    1. Penghasilan yang Sifatnya Teratur :
    -
    Gaji
    -
    Penghasilan yang melekat dengan gaji
    -
    Tunjangan-tunjangan
    -
    Beasiswa
    -
    Hadiah/penghargaan
    -
    Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, termasuk iuran jamsostek berupa : iuran jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan pelayanan kesehatan. Sedangkan untuk iuran jaminan hari tua tidak dimasukkan sebagai penghasilan karyawan, karena pengenaan pajaknya akan dilakukan pada saat penerimaan uang tujangan hari tua/tabungan hari tua.
    -
    Penghasilan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.


    1. Penghasilan yang Sifatnya Tidak Teratur :
    -
    Jasa produksi
    -
    Tantiem, yaitu bagian keuntungan yang diberikan kepada direksi dan komisaris yang didasarkan pada suatu prosentase/jumlah tertentu dari laba perusahaan setelah kena pajak.
    -
    Gratifikasi
    -
    Tunjangan cuti
    -
    Tunjangan hari raya
    -
    Tunjangan tahun baru
    -
    Premi tahunan
    -
    Penghasilan lain


    1. Upah :
      -
      Upah harian
      -
      Upah mingguan
      -
      Upah satuan
      -
      Upah borongan


    2. Rabat/komisi penjualan yang diterima oleh Distributor MLM/Direct Selling dan kegiatan sejenis.


    3. Uang tebusan pensiun, Uang tabungan hari tua, Uang tunjangan hari tua, uang pesangon


    4. Honorarium, uang saku, hadiah, penghargaan, komisi, beasiswa.


    5. Imbalan kepada tenaga ahli : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, dan penilai.


    6. Imbalan lain-lain, yang diterima oleh kolportir iklan, pengawas, jasa kepanitiaan, peserta sidang/rapat, tenaga lepas, penemu pesanan, penemu langganan, peserta perlombaan, seniman, olahragawan, pengajar, penerjemah, moderator, pemberi jasa komputer, telekomunikasi, fotografi, dan pemasaran, petugas asuransi, peserta pelatihan/pemagangan/pendidikan.

      http://www.pajakonline.com/engine/learning/index_cat.php?id=62

    Pendaftaran Objek Pajak

    • Subjek pajak PBB adalah mereka (orang atau badan) yang :
      =
      mempunyai hak atas bumi/tanah, dan atau.
      =
      memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan atau.
      =
      memiliki, menguasai atas bangunan, dan atau.
      =
      memperoleh manfaat atas bangunan.
    • Subjek tersebut harus mendaftarkan diri sebagai subjek pajak atau Wajib Pajak. Pendaftaran dilakukan di Kantor-kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan yang dimilikinya, dikuasai atau dimanfaatkan oleh orang atau badan tersebut dengan menggunakan suatu formulir yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

    Objek Pajak PBB

    1. Yang menjadi obyek PBB adalah bumi dan bangunan.
    2.
    Bumi adalah permukaan bumi atau tanah dan isi yang ada di bawahnya, termasuk tanah pekarangan, sawah, empang dan perairan pedalaman (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ).
    3.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi, tanah atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha maupun tempat yang diusahakan (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ).
      Termasuk dalam pengertian bangunan :
      a.
    Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan satu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut;
      b. Jalan tol;
      c. Kolam renang;
      d. Pagar mewah;
      e. Tempat olah raga;
      f. Galangan kapal, dermaga;
      g. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
      h.
    Fasilitas lain yang memberikan manfaat (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ).

    B. Dikecualikan dari pengenaan PBB (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1994 )
    1.
    Tanah atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan nasional, yang dimaksudkan untuk tidak memperoleh keuntungan. Contoh objek yang dikecualikan atau tidak dikenai PBB itu seperti : pesantren atau sejenisnya, sekolahan/madrasah, tanah wakaf, rumah sakit pemerintah dan lain-lain .
    2.
    Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu seperti museum.
    3.
    Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
    4.
    Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani sesuatu hak.
    5.
    Bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

    OBJEK PAJAK YANG DIGUNAKAN OLEH NEGARA

    Yang dimaksud dengan obyek pajak ini adalah obyek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan.
     Obyek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
    Pasal 3 angka (2) UU No. 12 Tahun 1984 jo UU No. 12 TAHUN 1994

    Transaksi Antar Pengusaha Kena Pajak yang Terdapat Hubungan Istimewa ( Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 )

    Dalam hal harga jual atas Barang Kena Pajak atau penggantian atas Jasa Kena Pajak dipengaruhi adanya hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian tersebut dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tersebut.
    Hubungan Istimewa terjadi dalam hal :
    -
    Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan sebesar 25% atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih. Demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebutkan terakhir.
    -
    Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua Pengusaha atau lebih berada dibawah penguasaan Pengusaha yang sama, yaitu penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
    -
    Hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau kesamping satu derajat :
    -
    Sedarah lurus satu derajat, yaitu: ayah/ibu dengan anak
    -
    Sedarah kesamping satu derajat, yaitu: kakak dengan adik
    -
    Semenda lurus satu derajat, yaitu: mertua dengan menantu atau ayah/ibu dengan anak tiri
    -
    Semenda kesamping satu derajat, yaitu: hubungan saudara ipar
    -
    Jika antara suami istri ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan keduanya merupakan hubungan istimewa.

    Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (Pasal 3A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) :

    Kewajiban PKP
    a. Pengusaha yang telah wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha Kecil yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak seperti tersebut diatas berkewajiban untuk :
    1)
    Melaporkan usahanya (mendaftarkan perusahaannya) untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
    2)
    Memungut PPN/PPn BM yang terutang.
    3) Menyetor PPN/PPnBM yang terutang (yang kurang dibayar)
    4) Melaporkan PPN/PPn BM yang terutang (menyampaikan SPT Masa PPN/PPn BM).
    b. Pengusaha kecil yang menyerahkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tidak wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi boleh memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak. Dengan demikian, atas penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan PPN, kecuali jika Pengusaha Kecil tersebut memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
    c. Apabila sampai dengan suatu bulan dalam satu tahun buku, peredaran bruto (omzet) Pengusaha telah melewati batasan Pengusaha Kecil, Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, selambat-lambatnya akhir bulan berikutnya.
    d. Apabila dalam satu tahun buku peredaran bruto Pengusaha Kena Pajak tidak melebihi batasan Pengusaha kecil, maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pencabutan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
    Hak PKP
    a. Pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP
    b. Restitusi atau kompensasi atas kelebihan PPN
    Proses Pencabutan PKP :
    a. Direktur Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
    b. Keputusan akan diberikan dalam jangka waktu 2 bulan sejak permohonan diterima.
    c. Jika Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu 2 bulan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan keputusan pencabutan akan diberikan selambat-lambatnya 1 bulan setelah 2 bulan tersebut.
    Contoh :
    PT A bergerak dalam bidang perdagangan garmen. Selain itu, PT A juga melakukan penyerahan jasa pengecetan gedung. Pada Masa September 2002, PT A melakukan pengecetan penjualan garmen s.d. September 2002 sebesar Rp 350.000.000,00 dan penyerahan jasa pengecetan gedung s.d. bulan September 2002 Rp 50.000.000,00. Dari kasus ini dapat dihitung Peredaran usaha PT A s.d. September 2002 adalah sebesar Rp 400.000.000,00 (87,5% penyerahan BKP). Jadi dalam hal ini PT A sudah berkewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak paling lambat akhir bulan Oktober 2002.

    Pengertian PKP (Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000)

    -
    Pengusaha (Perusahaan) yang tidak termasuk Pengusaha Kecil yang menyerahkan Barang Kena Pajak /Jasa Kena Pajak.
    -
    Pengusaha yang memenuhi syarat ini, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebelum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
    -
    Pengusaha kecil yang menyerahkan BKP/JKP, dan memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak.
    Pengusaha kecil diberikan pilihan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak menjadi Pengusaha Kena Pajak. Artinya, hukumnya tidak wajib.
    Apa saja yang termasuk PKP menurut Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000 ?
    1. Termasuk PKP (Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000)
    a)
    Pengusaha yang baru berniat akan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (dalam tahap pra operasi/belum berproduksi komersial), artinya perusahaan tersebut belum memulai usahanya tetapi dari kegiatan persiapan yang dilakukan seperti pembelian barang modal atau bahan baku dapat diketahui bahwa Pengusaha ini berniat akan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak.
    b)
    Bentuk kerja sama operasi (Joint Operation/Joint Venture) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak.
    Apabila Joint Operationt tersebut hanya merupakan alat koordinasi, sedangkan transaksi penyerahan BKP/JKP tetap dilakukan sendiri-sendiri oleh peserta JO, maka JO tersebut tidak perlu dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
    Bagaimana tata cara pengusaha kecil berdasarkan 552/KMK.04/2000 Jo 571/KMK.03/2003SE - 33/PJ.51/2003 ?

    1. Sejak 1 Januari 2003 Batasan Pengusaha kecil adalah Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) untuk pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.

    2. Sebelum 1 Januari 2003 Batasan Pengusaha Kecil adalah :

      1. Rp 360 Juta peredaran bruto setahun untuk :

        • Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP

        • Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP, tetapi penyerahan BKP lebih dari 50% dari total peredaran bruto dan penerimaan bruto
      2. Rp 180 Juta peredaran bruto setahun untuk :
        • Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP
        • Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP, tetapi penyerahan JKP lebih dari 50% dari total peredaran bruto dan penerimaan bruto.
    3. Beberapa hal seputar pengukuhan PKP :
      1. Pengusaha kecil yang omsetnya telah melampaui batasan omset Rp 600 juta, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat akhir bulan setelah bulan terlampauinya batasan tersebut. Apabila batas waktu pelaporan tersebut terlampaui, maka saat pengukuhan sebagai PKP adalah awal bulan berikutnya.
        Contoh :
        Bapak Meidi terdaftar di KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua memiliki toko onderdil mobil di Pusat Onderdil Fatmawati, omset bulan Januari s.d. April 2004 mencapai Rp 500 juta. Sementara omset bulan Mei 2004 adalah Rp 300 Juta. Dengan demikian, batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2004, sehingga Bapak Meidi harus segera melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP kepada KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua selambat-lambatnya 30 Juni 2004. Namun jika Bapak Meidi baru melaporkan usahanya pada tanggal 20 Juli 2004, maka saat pengukuhan PKP terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004.
      2. Dalam hal pengukuhan dilakukan secara jabatan, maka saat pengukuhan adalah awal bulan kedua setelah bulan terlampauinya batasan pengusaha kecil.
        Jika dalam contoh diatas, Bapak Meidi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua dan berdasarkan hasil ekstensifikasi pada bulan Desember 2004 diketahui bahwa batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2004. Maka saat pengukuhan sebagai PKP terhitung sejak tanggal 1 Juli 2004 dan atas PPN terutang bulan Juli s.d. Nopember 2004 beserta sanksi bunga 2 % sebulan dari PPN terhutang.
      3. Kewajiban untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terhutang dimulai sejak saat pengukuhan sebagai PKP.

    JANGKA WAKTU KEPUTUSAN KEBERATAN ( Pasal 26 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 )

    • Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
    • Sebelum Surat Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
    • Keputusan Dirjen Pajak dapat berupa :
      - Menerima seluruhnya
      - Menerima sebagian
      - Menolak
      - Menambah jumlah pajak terutang.
    • Apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak yang ditentukan dalam pasal 13 ayat ( 1 ) huruf b dan huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, maka Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
    • Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan Dirjen Pajak tidak memberikan jawaban,maka keberatan dianggap diterima.
    • Apabila surat keberatan tidak lengkap atau tidak memenuhi persyaratan maka tidak dianggap sebagai surat keberatan.

    Syarat-syarat untuk mengajukan keberatan

    Berdasarkan  Pasal 25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
    • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
    • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
    • Surat Ketetapan Pajak Nihil.
    • Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
    • Pemotongan atau pemungutan pajak oleh ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
    Jika Keberatan yang diajukan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan diatas, maka surat keberatan tersebut tidak dipertimbangkan.
    Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
    Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
    Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud diatas tidak termasuk sebagai utang pajak.
    Dalam hal Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
    Dalam Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana diatas tidak dikenakan.

    Dasar hukum Keberatan Banding

    DASAR HUKUM
    • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 .
    • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
    • SE - 05/PJ.3/1995 Tanggal 14 Februari 1995 Tentang Penegasan Ketentuan Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
    • SE - 15/PJ.45/1996 Tanggal 22 April 1996 Tentang Prosedur dan Penjelasan
    • SE - 68/PJ./1993 Tanggal 22 Desember 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Pasal 16, 26, dan 36.
    • PER-01/PJ.07/2007 tanggal 8 Oktober 2007
    • SE - 02/PJ.07/2007 tanggal 8 Oktober 2007

    Syarat Pengajuan Permohonan dan Hasil Keputusan

    • Diajukan tertulis dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal SKP atau STP, melalui KPP tempat WP terdaftar.
    • Harus dilampiri:
      - Alasan pengajuan permohonan.
      - Fotocopy STP, SKPKB, atau SKPKBT.
      -
      SSP pelunasan pokok pajak atau sesuai persetujuan pemberian angsuran / penundaan pembayaran pajak.
    • Satu surat untuk satu ketetapan pajak atau STP.
    • Wajib Pajak tidak keberatan atas ketetapan pajaknya atau pokok pajak terutang.
    Hasil Keputusan
    - Diterima seluruhnya.
    - Diterima sebagian
    - Ditolak

    Sifat Dan Produk Hukum Pembetulan

    • Bersifat kesalahan yang manusiawi.
    • Tidak mengandung sesuatu yang dipersengketakan atau mengandung argumentasi yuridis.
    • Terbatas pada hal-hal sbb:
      - Kesalahan tulis
      - Kesalahan hitung
      -
      Kekeliruan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu dalam penerapan tarif, prosentase, sanksi administrasi, Penghasilan Tidak Kena Pajak, dan pengkreditan.
      - Pembetulan dilakukan secara jabatan oleh fiskus atau permohonan Wajib Pajak.
      - Bisa dilakukan lebih dari satu kali pembetulan.
      - Dilakukan atas SKP ( SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN ) dan STP.

    Apakah pengertian dari peninjauan kembali?

    Pengertian
    Peninjauan kembali merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan proses penyelesaian perselisihan pajak yang diatur dalam ketentuan-ketentuan sbb :
    • Pasal 16 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 , yaitu pembetulan ketetapan pajak atau surat tagihan pajak karena terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    • Pasal 36 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 , yaitu pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya. Sanksi administrasi yang dikurangkan atau dihapuskan tersebut dapat berasal dari ketetapan pajak atau surat tagihan pajak.
    • Pasal 36 ayat (1) b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 , yaitu pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.

    Apakah dasar hukum peninjauan kembali?

    Dasar Hukum
    • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Pasal 16.
    • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Pasal 36.
    • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 186/KMK.04/1998 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi.
    • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi.
    • Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 68/PJ./1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Pasal 16, 26, dan 36 KUP.
    • Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 13/PJ.33/1998 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan ketetapan Pajak.
    • Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 01/PJ.33/1999 Tentang Penegasan atas Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak.

    BANDING ( Pasal 27 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000)

    • Wajib Pajak mengajukan banding hanya kepada BPSP atas keberatan yang diajukannya dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal keputusan ditetapkan.
    • Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
    • Putusan BPSP bersifat final dan tetap.
    • Permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
    • Atas kelebihan pembayaran pajak diberikan imbalan bunga 2 % per bulan selama-lamanya 24 bulan dalam hal keberatan banding diterima sebagian atau seluruhnya.

    PENYIDIKAN PAJAK ( Pasal 44 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 )

    1. Pengertian
    -
    Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu akan dapat menunjukkan adanya tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. 
    -
    Penyidik pajak adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang hukum acara pidana yang berlaku.
    -
    Penyidikan merupakan proses kelanjutan dari hasil pemeriksaan yang mengindikasikan adanya bukti permulaan tindak pidana perpajakan.
    -
    Berdasarkan KEP - 02/PJ.7/1990, 24-12-1990, bukti permulaan adalah keadaan dan/atau bukti-bukti berupa keterangan, tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberi petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada negara.

    2. Tugas dan Wewenang Penyidik
      2.1. Tugas Penyidik
       
    Tugas penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya
      2.2 Wewenang Penyidik
       
    1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
    2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpaj akan;
    4. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
    5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
    6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
    7. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
    8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
    9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    10. menghentikan penyidikan;
    11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
    3. Kegiatan Penyidikan
    1)
    Penyidikan tindak pidana perpajakan dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyidikan yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak atau Kepala kantor Wilayah DJP
    2)
    Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur undang-undang hukum acara pidana yang berlaku
    3)
    Untuk menambah atau melengkapi petunjuk dan bukti permulaan yang sudah ada, penyidik pajak berwenang memanggil tersangka, saksi, atau saksi ahli melalui surat panggilan. Dalam hal yang dipanggil tidak ada di tempat maka surat panggilan diterimakan kepada keluarganya atau ketua RT atau ketua RW atau Kepala Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut akan disampaikan kepada yang bersangkutan
    4)
    Apabila tersangka atau saksi atau saksi ahli tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menandatangani surat panggilan, kepadanya diterbitkan dan disampaikan panggilan kedua. Apabila masih bersikap sama maka penyidik pajak dapat meminta bantuan Polri untuk menghadirkan yang bersangkutan
    5)
    Sebelum penyidikan dimulai, penyidik pajak harus memberitahukan kepada tersangka hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum serta menjelaskan apa yang disangkakan kepadanya dengan jelas dan dalam bahasa yang dimengerti
    6)
    Apabila Saksi diperkirakan tidak dapat hadir pada saat persidangan maka pemeriksaan terhadapnya dilakukan terlebih dahulu diambil sumpahnya oleh penyidik pajak
    7)
    Apabila tersangka atau saksi dikhawatirkan akan meninggalkan wilayah Indonesia maka penyidik pajak dapat segera meminta bantuan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencekalan
    8)
    Dalam melakukan penyidikan penyidik pajak harus memperhatikan asas hukum dan norma penyidikan yang berlaku

    4. Asas-asas Hukum dan Norma Penyidikan
      4.1 Asas-asas Hukum
    Asas-asas hukum yang berlaku termasuk :
    1. Asas Praduga Tak Bersalah adalah bahwa setiap orang yang disangka dituntut atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap
    2. Asas persamaan di muka hukum adalah bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dimuka hukum tanpa perbedaan
    3. Asas Hak memperoleh bantuan/penasehat hukum adalah bahwa setiap tersangka perkara tindak pidana di bidang perpajakan wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya sejak dilakukan pemeriksaan terhadapnya
      4.2 Norma Penyidikan
    1. Dalam melakukan tugasnya penyidik pajak harus berlandaskan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, KUHAP dan hukum pidana yang berlaku
    2. Penyidik pajak sebagai penegak hukum wajib memelihara dan meningkatkan sikap terpuji sejalan dengan tugas, fungsi, wewenang serta tanggung jawabnya
    3. Penyidik pajak harus membawa tanda pengenal pajak dan surat perintah penyidikan pada saat melakukan penyidikan
    4. Penyidik dapat dibantu oleh peetugas pajak lain atas tanggung jawabnya berdasarkan izin tertulis dari atasannya
    5. Penyidikan dilaksanakan berdasarkan Laporan Bukti Permulaan dan Surat Perintah Penyidikan
    6. Penyidik pajak dalam setiap tindakannya harus membuat Laporan dan Berita Acara

    B. HAK WAJIB PAJAK

    Adapun hak-hak Wajib Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007 adalah :
    • Hak mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak setelah mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya (Pasal 2 ayat (1),(2) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000).
    • Atas permohonan, memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan (Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000 )
    • Menerima tanda bukti penerimaan penyampaian SPT Tahunan yang disampaikan secara langsung ke KPP (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Membetulkan SPT (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Atas permohonan mengangsur atau menunda pembayaran pajak (Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, dan apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat berlakunya batas waktu sampai dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan (pasal 11 ayat (2),(3) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Kepastian besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak (Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007 )
    • Pembebasan pengenaan sanksi adminstrasi berupa kenaikan sebesar 100% sehubungan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang didasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan (Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Mengajukan permohonan membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007)
    • Mendapatkan Surat Ketetapan Pajak Nihil setelah dilakukan pemeriksaan jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. (Pasal 17A Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Mendapatkan kedaluwarsaan penagihan pajak setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan dan tidak ada hal yang menangguhkan daluwarsa penagihan pajak
    • Mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak (Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Mengajukan perpanjangan jangka waktu pengajuan keberatan dalam hal terdapat keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (pasal 25 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Mendapatkan keterangan tertulis tentang hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak dalam rangka mengajukan keberatan (Pasal 25 ayat 6 Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Mendapatkan keputusan atas keberatan yang diajukan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima oleh KPP dan bila jangka waktu tersebut telah lewat tidak ada keputusan, maka keberatan yang diajukan dianggap diterima (Pasal 26 ayat (1),(5) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan atas keberatan diterbitkan (Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Mengajukan banding terhadap keputusan keberatan yang dianggap masih tidak sesuai (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007)
    • Memperoleh imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dan juga imbalan bunga sebesar 2% atas pembayaran lebih sanksi administrasi
    • berupa dan atau bunga berdasarkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak (Pasal 27A ayat (1),(2) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Menolak petugas pemeriksa yang tidak memiliki tanda pengenal pemeriksaan dan tidak dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan dan tidak memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa (Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007)
    • Menunjuk surat kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan (Pasal 32 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Mendapat perlindungan kerahasiaan melalui rahasia jabatan (Pasal 34 ayat (1),(2) Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000)
    • Mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya dan apabila setelah lewat waktu 12 bulan sejak permohonan diterima oleh KPP tidak ada suatu keputusan, maka permohoanan pengurangan atau penghapusan dianggap dikabulkan (Pasal 26 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007)
    • Mengajukan permohonan untuk mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar dan apabila setelah lewat waktu 12 bulan tidak ada suatu keputusan, maka permohonan dianggap dikabulkan (Pasal 36 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007)
    • Mendapatkan kedaluwarsaan tuntutan pidana di bidang perpajakan setelah lampau waktu 10 tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak ybs
    • Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan setelah Wajib Pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

    Dasar hukum dari hak dan kewajiban serta sanksi perpajakan

    A. DASAR HUKUM
    • Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
    • KMK Nomor 679/KMK.04/1991 Tanggal 2 Juli 1991 Tentang Tata cara pembayaran pajak dan sanksi administrasi yang terutang sesuai hasil pemeriksaan dan pembayaran bunga dan denda
    • KMK Nomor 22/KMK.04/1993 Tanggal 5-1-93 Tentang Penghitungan sanksi adminstrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
    • SE - 03/PJ.31/1993 Tanggal 30-1-93 Tentang Penghitungan sanksi administrasi bunga Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
    • SE - 04/PJ.31/1993 Tanggal 13-2-93 Tentang Penerapan sanksi kenaikan Pasal 14 ayat (7) UU PPh 1984
    • KMK Nomor 898/KMK.04/1993 Tanggal 19-11-93 Tentang Tata cara pengurangan dan penghapusan Sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
    • KMK Nomor 607/KMK.04/1994 Tanggal 21-12-94 Tentang Tata cara pengurangan dan penghapusan Sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
    • KMK Nomor 186/KMK.04/1998 Tanggal 19-3-98 Tentang Tata cara pengurangan dan penghapusan Sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
    • KMK Nomor 537/KMK.04/2000 Tanggal 22-12-2000 Tentang Wajib PajakTertentu yang dikecualikan dari Pengenaan Sanksi Administrasi berupa Denda karena tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Dalam jangka waktu yang ditentukan
    • KMK Nomor 542/KMK.04/2000 Tanggal 22-12-2000 Tentang Tata cara pengurangan dan penghapusan Sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
    • SE - 03/PJ.33/1998 Tanggal 23-4-98 Tentang Pengenaan Sanksi bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban PPh Final
    • SE - 13/PJ.33/1998 Tanggal 8-7-98 Tentang Tata cara pengurangan dan penghapusan Sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
    • S - 145/PJ.33/1999 Tanggal 17-5-99 Tentang Pengenaan sanksi perpajakan
    • S - 365/PJ.333/1999 Tanggal 8-11-99 Tentang Tata cara pengurangan dan penghapusan Sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak

    Apakah sanksi membetulkan SPT yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar?

    Berdasarkan Pasal 8 UU KUP, dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.
    Last Updated (Thursday, 03 May 2007 09:37)



    http://www.pajak.go.id/index.php?view=category&id=111&option=com_content

    Apakah sanksi bagi orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan ?

    Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tidak pidanan di bidang perpajakan di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

    Apakah sanksi bagi instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain

    Ada 4 kategori yaitu:
    1. Apabila dengan sengaja tidak memberikan informasi dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
    2. Apabila dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain dalam memberikan informasi dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
    3. Apabila dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diiminta oleh DJP dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
    4. Apabila dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

    Sanksi apa yang dikenakan apabila menrbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP ?

    Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak 6 (enam) kali dari jumlah pajak dalam bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan atau bukti setoran pajak. 

    Jatuh Tempo Pembayaran dan Pelaporan PPh Pemotongan dan Pemungutan

    Berikut ini adalah jatuh tempo pembayaran dan pelaporan pajak khususnya adalah batas waktu pembayaran atau penyetoran dan pelaporan pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007.

    PPh Pasal 21

    PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

    Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang ditunjuk sebagai Pemotong PPh Pasal 21, wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

    PPh Pasal 22

    PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.

    PPh Pasal 22 atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak. Pemungut Pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya.

    PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara. Pemungut Pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.

    PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Surat Pemberitahuan Masa harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

    PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Surat Pemberitahuan Masa harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

    PPh Pasal 23/26

    PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Surat Pemberitahuan Masa harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

    PPh Pasal 4 Ayat (2)

    PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

    PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

    Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh, wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

    PPh Pasal 15

    PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

    PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

    Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh Pasal 15, wajib menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

    Followers